Jatuh Cinta Sebagai Kejadian Spiritual
Tulisan ini sebelumnya pernah saya tulis di blog saya terdahulu (gak bisa ngedit gara-gara lupa password)
###
Love is live. Live is option. Cinta adalah hidup. Hidup adalah pilihan. Artinya, cinta takkan pernah sanggup lari dari pilihan. Pilihan untuk jatuh cinta, pilihan untuk tidak mencintai siapapun, ataupun pilihan untuk sosok yang layak disuguhi cinta. Selama masih punya jiwa untuk hidup, kita bakal selalu dikekang jiwa untuk mengulum cinta. Entah, untuk siapa. Karena, pilihan tidak selamanya mudah. Terkadang, malah terbilang amat susah.
Banyak film yang mengangkat kebimbangan kala harus memilih pria yang terbaik, untuk disandingkan dalam dada. Misalnya, Here on Earth. Josh Hartnett sibuk melawan Chris Klein demi meraup cinta Leelee Sobieski. Ada lagi, Pearl Harbor yang mengisahkan perjuangan Ben Affleck dan-lagi-lagi-Josh Hartnett dalam bergulat demi memenangkan hati Kate Beckinsale.
Kehidupan para muda yang sebagian orang telah mempersepsikan sebagai generasi penerus, entah penerus apapun itu. Tak luput dari itu, pacaran menjadi sebuah budaya yang condong dimiliki oleh para muda. Jatuh cinta menjadi alasan utama untuk mengawali sebuah proses untuk pacaran. Dimana pacaran dijadikan wahana untuk memicu kehidupan masa depannya.
Mengutip pernyataan yang pernah dilontarkan Gede Prama “Jatuh Cinta Sebagai Kejadian Spiritual,” Setiap orang pernah jatuh cinta. Umumnya, jatuh cinta itu terjadi pada orang dengan lawan jenis. Tidak ada satupun kata-kata yang bisa mewakili perasaan jatuh cinta. Sebutlah kata senang, gembira, bahagia, bergetar, berdebar, takut kehilangan, cemburu, ingin selalu bersama, semua terlihat bersinar dan menyenangkan, tetap saja tidak bisa mewakili seluruh nuansa jatuh cinta.
Biasanya yang lama diingat orang melalui kejadian-kejadian jatuh cinta adalah perasaan-perasaan yang ada di dalam. Memegang tangan pasangan saja membuat jantung berdebar. Melihat matanya yang dibalut senyum bisa membuat terkenang-kenang selamanya. Bisa menjadi satu rangkaian kalimat yang terdengar di telinga setiap hari. Dan pada akhirnya membuat kita seperti layaknya dunia milik berdua.
Inilah rangkaian hal yang membuat cinta diidentikkan dengan feeling. Banyak sudah lagu, film, sinetron, novel, syair, puisi yang lahir dari sumber cinta sebagai perasaan. Kalau kemudian banyak yang memberikan kesan cinta itu cengeng, lemah, tangisan dan sejenisnya, itu hanyalah sepenggal pemahaman tentang cinta sebagai perasaan.
Ada dimensi kedua dari cinta yang layak dicermati setelah cinta sebagai perasaan, yakni cinta sebagai sebuah kekuatan (power). Dengan mencoba memperhatikan pengalaman jatuh cinta pada masing-masing individu. Ada kekuatan maha dahsyat yang ada di dalam diri, yang membuat badan dan jiwa ini demikian perkasanya.
Bermula dari pemahaman seperti inilah maka Deepak Chopra dalam The Path To Love, menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Ia tidak semata-mata bertemunya dua hati yang cocok kemudian menghasilkan jantung yang berdebar-debar. Ia adalah tanda-tanda hadirnya sebuah kekuatan yang dahsyat. Persoalannya kemudian, untuk apa kekuatan dahsyat tadi dilakukan.
Boleh saja kita menyebut rangkaian bukti ini sebagai serangkaian kebetulan, tetapi saya lebih setuju dengan Deepak Chopra ataupun Gede Prama yang menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Dari sinilah sang kehidupan kemudian menarik kita tinggi-tinggi ke rangkaian realita yang oleh pikiran biasa disebut luar biasa. Di bagian lain bukunya, Chopra menulis : “merging with another person is an illusion, merging with the Self is the supreme reality”. Bergabung dengan orang lain hanyalah sebuah ilusi, tapi bergabung dengan sang Diri yang sejati, itulah sebuah realita yang maha utama.
Jatuh cinta sebagai kejadian spiritual, yang dituju adalah bergabungnya diri kita dengan jiwa. Ada yang menyebut jiwa terakhir dengan sebutan Tuhan, ada yang memberinya sebutan kebenaran, ada yang menyebutnya dengan inner life, dan masih banyak lagi sebutan lainnya. Apapun nama dan sebutannya, ketika kita menemukannya, kata manapun tidak bisa mewakilinya. Yang ada hanya : ahhhhh !
Kita masih muda, di mana semua unsur badan dan jiwa ini demikian kuat dan perkasanya, demikian juga dengan jatuh cinta. Ia mendamaikan, menggembirakan, mencerahkan, mengagumkan dan menakjubkan, sekaligus juga bisa menjatuhkan. Dan yang paling penting, semuanya kelihatan serba sempurna. Air sungai, daun di pohon, desir angin, suara ombak, wajah pegunungan, demikian juga dengan pekerjaan, keluarga, atasan, bawahan.
Seorang sahabat yang kerap jatuh cinta seperti ini, pernah mengungkapkan, dalam keadaan jatuh cinta, setiap lembar daun di pohon apapun terlihat seperti sehalaman buku suci yang penuh inspirasi. Setiap hembusan angin adalah pelukan-pelukan tangan kekasih yang amat menyentuh. Setiap suara air adalah nyanyian-nyanyian rindu yang menyentuh kalbu.
###
Love is live. Live is option. Cinta adalah hidup. Hidup adalah pilihan. Artinya, cinta takkan pernah sanggup lari dari pilihan. Pilihan untuk jatuh cinta, pilihan untuk tidak mencintai siapapun, ataupun pilihan untuk sosok yang layak disuguhi cinta. Selama masih punya jiwa untuk hidup, kita bakal selalu dikekang jiwa untuk mengulum cinta. Entah, untuk siapa. Karena, pilihan tidak selamanya mudah. Terkadang, malah terbilang amat susah.
Banyak film yang mengangkat kebimbangan kala harus memilih pria yang terbaik, untuk disandingkan dalam dada. Misalnya, Here on Earth. Josh Hartnett sibuk melawan Chris Klein demi meraup cinta Leelee Sobieski. Ada lagi, Pearl Harbor yang mengisahkan perjuangan Ben Affleck dan-lagi-lagi-Josh Hartnett dalam bergulat demi memenangkan hati Kate Beckinsale.
Kehidupan para muda yang sebagian orang telah mempersepsikan sebagai generasi penerus, entah penerus apapun itu. Tak luput dari itu, pacaran menjadi sebuah budaya yang condong dimiliki oleh para muda. Jatuh cinta menjadi alasan utama untuk mengawali sebuah proses untuk pacaran. Dimana pacaran dijadikan wahana untuk memicu kehidupan masa depannya.
Mengutip pernyataan yang pernah dilontarkan Gede Prama “Jatuh Cinta Sebagai Kejadian Spiritual,” Setiap orang pernah jatuh cinta. Umumnya, jatuh cinta itu terjadi pada orang dengan lawan jenis. Tidak ada satupun kata-kata yang bisa mewakili perasaan jatuh cinta. Sebutlah kata senang, gembira, bahagia, bergetar, berdebar, takut kehilangan, cemburu, ingin selalu bersama, semua terlihat bersinar dan menyenangkan, tetap saja tidak bisa mewakili seluruh nuansa jatuh cinta.
Biasanya yang lama diingat orang melalui kejadian-kejadian jatuh cinta adalah perasaan-perasaan yang ada di dalam. Memegang tangan pasangan saja membuat jantung berdebar. Melihat matanya yang dibalut senyum bisa membuat terkenang-kenang selamanya. Bisa menjadi satu rangkaian kalimat yang terdengar di telinga setiap hari. Dan pada akhirnya membuat kita seperti layaknya dunia milik berdua.
Inilah rangkaian hal yang membuat cinta diidentikkan dengan feeling. Banyak sudah lagu, film, sinetron, novel, syair, puisi yang lahir dari sumber cinta sebagai perasaan. Kalau kemudian banyak yang memberikan kesan cinta itu cengeng, lemah, tangisan dan sejenisnya, itu hanyalah sepenggal pemahaman tentang cinta sebagai perasaan.
Ada dimensi kedua dari cinta yang layak dicermati setelah cinta sebagai perasaan, yakni cinta sebagai sebuah kekuatan (power). Dengan mencoba memperhatikan pengalaman jatuh cinta pada masing-masing individu. Ada kekuatan maha dahsyat yang ada di dalam diri, yang membuat badan dan jiwa ini demikian perkasanya.
Bermula dari pemahaman seperti inilah maka Deepak Chopra dalam The Path To Love, menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Ia tidak semata-mata bertemunya dua hati yang cocok kemudian menghasilkan jantung yang berdebar-debar. Ia adalah tanda-tanda hadirnya sebuah kekuatan yang dahsyat. Persoalannya kemudian, untuk apa kekuatan dahsyat tadi dilakukan.
Boleh saja kita menyebut rangkaian bukti ini sebagai serangkaian kebetulan, tetapi saya lebih setuju dengan Deepak Chopra ataupun Gede Prama yang menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Dari sinilah sang kehidupan kemudian menarik kita tinggi-tinggi ke rangkaian realita yang oleh pikiran biasa disebut luar biasa. Di bagian lain bukunya, Chopra menulis : “merging with another person is an illusion, merging with the Self is the supreme reality”. Bergabung dengan orang lain hanyalah sebuah ilusi, tapi bergabung dengan sang Diri yang sejati, itulah sebuah realita yang maha utama.
Jatuh cinta sebagai kejadian spiritual, yang dituju adalah bergabungnya diri kita dengan jiwa. Ada yang menyebut jiwa terakhir dengan sebutan Tuhan, ada yang memberinya sebutan kebenaran, ada yang menyebutnya dengan inner life, dan masih banyak lagi sebutan lainnya. Apapun nama dan sebutannya, ketika kita menemukannya, kata manapun tidak bisa mewakilinya. Yang ada hanya : ahhhhh !
Kita masih muda, di mana semua unsur badan dan jiwa ini demikian kuat dan perkasanya, demikian juga dengan jatuh cinta. Ia mendamaikan, menggembirakan, mencerahkan, mengagumkan dan menakjubkan, sekaligus juga bisa menjatuhkan. Dan yang paling penting, semuanya kelihatan serba sempurna. Air sungai, daun di pohon, desir angin, suara ombak, wajah pegunungan, demikian juga dengan pekerjaan, keluarga, atasan, bawahan.
Seorang sahabat yang kerap jatuh cinta seperti ini, pernah mengungkapkan, dalam keadaan jatuh cinta, setiap lembar daun di pohon apapun terlihat seperti sehalaman buku suci yang penuh inspirasi. Setiap hembusan angin adalah pelukan-pelukan tangan kekasih yang amat menyentuh. Setiap suara air adalah nyanyian-nyanyian rindu yang menyentuh kalbu.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home